About

Minggu, 06 Januari 2013

SEMERU

Ayo Ke Semeru, sekali-sekali menjadi orang tertinggi di Pulau Jawa. Masa cuma Soeharto saja orang tertinggi di Pulau Jawa ini.”
Tahun 1969, kalimat itulah yang diucapkan Soe Hok Gie kepada kawan-kawannya agar mereka juga ikut mendaki Gunung Semeru. Gunung ini memang titik tertinggi di Pulau Jawa, titik yang sering diburu mereka yang menyukai angin dingin dan kabut pegunungan. Sebagian mungkin memang ingin membuktikan kehebatannya dalam menaklukan, mereka yang menganggap penaklukan adalah tujuan tertinggi dalam petualangan. Tentu saja itu adalah kebanggaan purba, sebab alam tidak bisa ditaklukkan dan kita hanya bisa mengikuti alirannya.
Orang seperti Soe Hok Gie, dan pendaki-pendaki yang mawas diri justru mengambil pelajaran bahwa di gunung, ditengah desir angin dingin dan kaki yang lelah melangkah, manusia justru tak punya daya untuk menaklukkan. Mereka tak akan jumawa. Mereka hanya akan menerima apapun yang diberikan Tuhan. Hujan, rumput basah, buah cemara yang jatuh di tanah. Mereka hanya akan mengambil kenangannya. Begitulah pendaki gunung seharusnya, begitulah pencinta alam semestinya.
Tahun 1838 Clignet menjadi orang pertama yang mendaki Gunung Semeru. Tentu saja itu yang tercatat dalam sejarah, karena besar kemungkinan sudah ada yang duluan mencapai puncaknya sebelum pria berkewarganegaraan Belanda tersebut. Siapa pula Clignet? Kita tidak pernah tahu, kecuali bahwa dialah yang dianggap pertamakali mencapai puncak. Orang-orang justru lebih mengenal Soe Hok Gie (dan Franz Wilhelm Junghuhn, bagi sebagian orang) karena legendanya. Pendaki gunung mana yang tak mengenal sosok Soe Hok Gie? Si Cina Kecil ini telah lama menjadi panutan para pendaki. Puisinya dipajang, dikutip, diberikan kepada pacar, dijadikan penyemangat. Tak pernah ada pendaki gunung Indonesia yang memiliki karisma sebesar Gie. Walau kenyataannya, Gie hanya mendaki beberapa gunung, tapi sifatnya yang teguh dan cinta kepada keberanian hidup membuatnya jadi orang yang paling dikenang. Tanyakan kepada para pendaki, siapa orang terkenal yang paling mereka ingat yang pernah mendaki Gunung Semeru. Mungkin 8 dari 10 orang akan menjawab Soe Hok Gie. Tentu saja Indonesia punya legenda yang lain, Norman Edwin si Beruang Gunung. Kebetulan keduanya berasal dari organisasi yang sama, Mapala UI. Hanya saja, Hok Gie lebih dikenang karena dia adalah martir zamannya, ketika pemuda turun ke jalan menentang penguasa dan mereka merebut kemenangan dengan tumbangnya Soekarno. Di zaman bermunculan hipokrit dari kampus, Gie tetap kukuh dalam pendirian, dan dia memetik buahnya. Dia kesepian. Teman-teman aktivis mulai menjauhinya karena menganggap Gie terlalu keras. Jadi, kemana lagikah dia bisa menemukan teman yang sebenarnya?
Ke gunung.
Di gunung kita akan menguji diri dengan hidup sulit, jauh dari fasilitas enak-enak. Biasanya akan ketahuan, seseorang itu egois atau tidak. Juga dengan olahraga mendaki gunung, kita akan dekat dengan rakyat di pedalaman. Jadi selain fisik sehat, pertumbuhan jiwa juga sehat.
Di gunung Gie menemukan kedamaian, jauh dari hingar bingar politik saat itu. Sering teman-temannya melihat Gie melamun sambil mendekap kedua lutut didadanya, memandang hamparan bunga gunung yang menyejukkan mata. Di Lembah Mandalawangi, ditengah udara dingin Gunung Pangrango, puisinya tercipta. Puisi yang dikemudian hari dikutip para pendaki, petualang, dan bahkan nona-nona di kota yang belum pernah melihat Mandalawangi sekalipun. Hanya saja, bukan di lembah yang dicintainya itu kedamaian menjemputnya, melainkan di Semeru, di puncak persemayaman dewa Siwa, di puncak tertinggi pulau Jawa. Ditengah-tengah mahasiswanya yang sama-sama pendaki gunung, Gie si dosen sejarah UI mengeluarkan nafasnya yang terakhir. Dalam sayup lagu Nobody Knows yang mengambang di udara malam sebelumnya, Idhan Dhanvantari Lubis, si pemuda pendiam teman seperjalanan Hok Gie juga turut serta mendampinginya. Dalam diam, dalam lekuk liku lereng-lereng puncak surga.
Bukan hanya Soe Hok Gie dan Idhan Dhanvantari Lubis, ada 26 orang lagi yang bertakdir sama, tewas di gunung Semeru. Tapi Semeru tidak hanya menyimpan cerita kematian, cerita kehidupan juga punya tempat disini. Pendaki silih berganti mengambil tempat di Ranu Kumbolo, di danau tenang yang menyimpan cahaya matahari di balik bukit. Pagi pertama pendaki di Ranu Kumbolo adalah pagi yang tak mungkin lenyap dari ingatan. Kabut bergulung di air danau, menyongsong mereka yang duduk bersama kawan mencari hangat sambil minum kopi dari gelas yang sama. Pemancing dadakan berjajar di tubir danau, mengail rezeki makan siang dari wader-wader yang hilir mudik di pinggiran. Cahaya merona perlahan, seperti warna pipi gadis yang tersipu malu. Kehidupan hadir dihati pendaki dengan cara yang sangat menyenangkan. Kabut dingin, semburat merah diujung timur, cahaya matahari yang berpendar.
Sahibul hikayat, letak Gunung Semeru pertamakali ada diujung barat Jawa. Dewa Wisnu dan Brahma yang meletakkannya agar Jawa yang selalu bergerak dan terguncang bisa diam terpaku. Jauh dari India diterbangkan Gunung Meru, yang berubah nama menjadi Semeru ketika terpancang di tanah Jawa. Tersebab bukannya pulau Jawa jadi stabil malahan bagian timur jadi terangkat, Wisnu dan Brahma mengangkatnya kembali dan menerbangkannya ke timur. Diatas punggung Wisnu yang menjelma kura-kura raksasa, sebagian gunung Meru jatuh membentuk Gunung Gede, Slamet, Sundoro, Merapi, Lawu, dan Welirang. Diantara Kelud dan Argopuro Wisnu menurunkan Gunung Meru dari punggungnya. Masih juga masalah belum selesai, karena ujung lain Jawa yang kini menjadi miring. Maka, dengan kekuatan dewa-dewa, sebagian Gunung Meru dipotong dan diletakkan di barat laut, dan kemudian dikenal sebagai Gunung Penanggungan. Tentu saja semua cerita itu tak ada dalam kitab geologi buatan manusia, melainkan hanya di kitab Tantu Pagelaran dari abad ke-15.
Menurut kitab geologi manusia, Semeru adalah gunung api jenis Stratovolcano, yang terjadi karena lipatan lempeng. Bersuhu 0-21 derajat Celcius, suhu yang dicari pendaki yang akrab dengan udara dingin. Semasa hidupnya, Junghuhn, naturalis anggota Natuurkundige Commissie Batavia, pernah mendaki dan meneliti Semeru di tahun 1945. Mungkin dalam catatannya tersebut macan kumbang, luwak, kijang, kancil, monyet, belibis, cemara, akasia, pinus, edelweis, alang-alang, kirinyuh, tembelekan, semua binatang dan tumbuhan yang hidup pada masa itu. Sayang sekali, sekarang susah menemukan belibis bermain air di Ranu Kumbolo, dan kijang yang cantik itu, entah sekarang berada dimana.
Di Oro-Oro Ombo, bunga-bunga bermekaran seperti padang lavender. Ungu yang memanjakan mata, di sela ilalang yang tumbuh tinggi. Disinilah perhentian berikutnya bagi mereka yang menyukai keindahan. Di kiri kanan bukit-bukit mengapit padang rumput dengan gagah. Diujungnya, menanti barisan pohon pinus bernama Cemoro Kandang. Teruskan melangkah, padang rumput luas menanti dipinggiran hutan pinus. Tentu saja bagi Hok Gie yang anak Jakarta itu, suasana seperti ini adalah pelarian yang tepat dari ruwetnya Jakarta tahun 60-an. Dan Arcopodo itu, arca kembar yang hanya bisa dilihat oleh mereka yang beruntung, menanti dengan diam para pendaki yang berjalan pelan menuju puncak para dewa, Mahameru. Syiwa, yang bersemayam disana, diubun-ubun Jonggring Saloko, menyambut para pendaki yang tertatih melewati alur-alur pasir yang labil. Dewa-dewa itu, mereka membuat tangga surga dengan pasir labil agar kita mengerti, segala kesusahan akan berkurang jika kita menerimanya dengan ikhlas, dan dibalik keikhlasan tersebut ada keteguhan hati untuk tetap mengatasinya. Berjalan tiga langkah dan mundur dua langkah, kembali berjalan tiga langkah dan mundur lagi dua langkah, itulah ikhlas dan itulah keteguhan. Diujungnya, dilangkah terakhir menuju puncak, tidak ada rasa lain selain bahagia yang membuncah. Dan kitapun tahu mengapa Soe Hok Gie, Idhan Dhanvantari Lubis, Soebijanto, Wahju Prihastono, Daris, Andika Listyono Putra, dan 22 pendaki lain rela hidupnya berakhir di Gunung Semeru.
Daftar bacaan:
http://catros.wordpress.com/2007/05/02/soe-hok-gie-dan-gunung-semeru/
http://id.wikipedia.org/wiki/Semeru

0 komentar:

Posting Komentar